Minggu, 20 Desember 2009

Meraih Sukses UAN


Kualitas pendidikan di negara kita terus menerus menjadi polemik yang tiada habis-habisnya. Pada umumnya masyarakat cenderung menilai kualitas pendidikan kita masih cukup memprihatinkan. Hal ini mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan menyelenggarakan ujian nasional. Penyelenggaraan ujian nasional, meski terus menuai protes dan diperdebatkan efektivitasnya, diharapkan mampu mendorong satuan-satuan pendidikan (baca: sekolah) untuk membenahi kualitas layanannya.
    Tak dapat disangkal, kebijaksanaan ini ternyata membuat banyak sekolah panik dan kalang kabut. Apalagi, diberitakan di media-media masa, sejumlah sekolah harus gigit jari karena 100% siswanya tidak lulus. Begitu burukkah mutu pembelajaran di sekolah-sekolah kita?
    Di lain pihak, bila kita mencoba berpikir positif, ada beberapa hikmah yang bisa kita petik. Pertama, masing-masing sekolah terdorong untuk mengadakan konsolidasi total terhadap sumber daya yang dimilikinya. Kedua, suka-tidak suka, sekolah terpaksa harus bersungguh-sungguh membenahi kualitas pembelajarannya sehingga hasilnya pun optimal. Ketiga, masing-masing sekolah menjadi tahu dimana posisinya dibanding sekolah-sekolah yang lain.
    Namun terlepas dari semua itu, ada hal yang patut disyukuri. Kini sekolah berlomba-lomba mengerahkan segala daya dan kreativitasnya untuk kesuksesan siswa-siswinya. Bila kita amati upaya-upaya itu dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis:

1.    Menambah waktu belajar intrakulikuler

2.    Memfokuskan diri pada mata pelajaran yang diujikan

3.    Mengadakan les khusus

4.    Memetakan kompetensi untuk masing-masing topik dan melakukan remidi

5.    Mengadakan bimbingan khusus bagi siswa yang lemah

6.    Melakukan home visit secara intensif.

7.    Mengadakan try-out ujian nasional secara intensif

8.    Melakukan upaya ruhiah, biasanya dalam bentuk doa bersama

9.    Memberi nasehat-nasehat sebagai motivasi, termasuk bimbingan dan konseling

10.    dsb.

Mungkin masih banyak bentuk-bentuk ’kreativitas’ sekolah yang dilakukan untuk menyiapkan diri agar sukses dalam ujian nasional. Tentu saja semua itu adalah upaya yang wajar dan masuk akal. Namun yang perlu diwaspadai adalah efek sempingnya yang kontra-produktif. Misalnya, timbulnya kecenderungan sekolah-sekolah terlalu fokus pada mata pelajaran yang diujikan, hingga mata pelajaran lain agak terabaikan.
Hal lain yang patut diwaspadai adalah kondisi psikologis siswa yang kelelahan, stress atau panik dengan suasana yang secara tidak terasa berkembang menjadi sangat menegangkan. Tak ada keceriaan khas mereka, karena mereka harus menelan drill demi drill yang menjenuhkan.

Rabu, 04 November 2009

Mengajarkan Ketrampilan “Mendengar Yang Baik”


Akhyar, berusia 4 tahun. Ibunya kadangkala kesal karena ia kadang tidak mendengarkan ibunya ketika ibunya memintanya melakukan sesuatu. Ia juga kadang tidak mendengarkan ayahnya ketika memanggil, seolah-olah Akhyar “tuli”. Kadang-kadang ia mendengarkan dengan baik, tetapi ibunya kadang juga berteriak untuk memanggilnya.
Akhyar kemungkinan tidak mengalami gangguan pendengaran karena pada saat-saat tertentu ia dapat mendengar dengan baik. Sebenarnya apa yang dialami oleh Akhyar adalah hal yang wajar/normal untuk anak seusianya. Anak usia prasekolah (2 – 6 tahun) mempunyai kesulitan untuk memperhatikan dan mendengarkan karena otak dan system syaraf mereka masih berkembang. Hal ini biasanya terjadi ketika anak sedang asyik memperhatikan sesuatu, karena otaknya fokus pada apa yang sedang ia perhatikan, otaknya tidak dapat memproses panggilan/kata-kata. Jika hal ini yang terjadi, kemungkinan anak secara tidak sengaja mengabaikan permintaan/panggilan orangtua. Meskipun demikian, anak kadang-kadang memang dengan sengaja tidak memenuhi panggilan atau permintaan orangtua.
Perilaku anak yang tidak mendengarkan orangtua baik disengaja maupun tidak disengaja merupakan perbuatan yang kurang terpuji sehingga orangtua perlu mengarahkan perilaku anak. Menurut Severe, dalam bukunya “How to Behave So Your Preschooler Will, Tool”, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orangtua untuk mengajarkan anak mendengar yang baik, yaitu:
1. Memberi contoh sikap mendengar yang baik
Memberi contoh adalah cara mengajar yang paling efektif bagi anak-anak usia prasekolah. Oleh karena itu, orangtua perlu menunjukkan bagaimana menjadi pendengar yang baik pada anak. Ketika anak berbicara kepada orangtua, hendaklah orangtua memberikan perhatian pada anak, hentikan kegiatan yang sedang dilakukan orangtua, kemudian hadapkan badan orangtua kepada anak, lakukanlah kontak mata dengan anak, kemudian mulailah mendengarkan anak dengan sepenuh hati. Ulangi apa yang dikatakan anak untuk memastikan pada anak bahwa orangtua benar-benar memperhatikannya. Sikap orangtua yang demikian akan berdampak sangat positif pada anak. Anak akan memiliki contoh kongkrit bagaimana seharusnya menjadi pendengar yang baik. Selain itu, anak juga merasa bahwa dirinya dihargai oleh orangtua yang pada akhirnya nanti membentuk harga diri anak yang positif. Anak juga sekaligus belajar bagaimana menghargai orang lain.
2. Berbicara dalam situasi yang tepat
Ketika akan berbicara dengan anak, orangtua harus memperhatikan kondisi anak. Anak yang lelah dan lapar akan kesulitan untuk memberikan perhatian pada panggilan/pembicaraan orangtua. Demikian juga pada anak yang sedang asyik bermain. Anak yang sedang sedih, kesal, atau menangis juga akan sulit untuk diajak mendengarkan perkataan orangtua. Orangtua perlu menenangkan anak terlebih dahulu sebelum meminta anak untuk mendengarkan orangtua.
3. Menggunakan isyarat untuk mendapatkan perhatian anak
Banyak orangtua yang kemudian berteriak atau meninggikan suara ketika anaknya tidak mendengarkan. Bahkan boleh jadi orangtua kemudian marah pada anak. Teriakan/kemarahan orangtua tidak akan menjadikan anak pendengar yang baik. Yang perlu dilakukan orangtua ketika ingin berbicara dengan anak adalah mendekati anak. Setelah mendekati anak, orangtua dapat menyentuh tubuh anak (menyentuh bahu atau bahkan jika perlu memeluk). Kemudian mulailah pembicaraan dengan menyebut nama anak. Beritahu anak bahwa orangtua ingin berbicara dengan anak, mintalah anak untuk menghentikan kegitan yang dilakukannya untuk sementara waktu. Orangtua duduk sejajar dengan anak dan melakukan kontak mata. Hal ini akan membuat orangtua lebih diperhatikan anak, sehingga apa yang akan disampaikan oleh orangtua lebih mampu dipahami oleh anak.
4. Orangtua tidak terlalu banyak perintah/permintaan sekaligus
Tahap perkembangan otak yang belum sempurna menyebabkan anak tidak mampu memproses perintah/permintaan orangtua yang terlalu banyak sekaligus. Perintah/permintaan orangtua yang terlalu banyak dalam satu waktu akan menimbulkan frustrasi pada anak. Rasa frustrasi anak ini malah dapat menyebabkan anak tidak mengikuti permintaan orangtua, bahkan anak dapat menjadi rewel karena bingung. Orangtua juga perlu meminta anak untuk mengulang permintaan/pembicaraan orangtua untuk memastikan anak memahami pembicaraan/permintaan orangtua.
5. Memberikan pujian/hadiah pada anak
Ketika anak mampu mendengar yang baik, beri anak pujian/hadiah. Pujian/hadiah sangat diperlukan untuk menguatkan perilaku anak. Pujian akan efektif membentuk perilaku anak ketika langsung diberikan pada anak setelah anak melakukan perilaku yang diinginkan orangtua.

Kelima hal tersebut di atas akan efektif bila orangtua melakukannya dengan konsisten. Kekonsistenan orangtua dalam menerapkan kelima hal tersebut akan memperjelas apa yang diinginkan oleh orangtua terhadap anak.fahma

Selasa, 20 Oktober 2009

Mengontrol Ucapan



Ibnu Abbas radiyallahu ’anhu pernah memegang lidahnya sambil berkata, ”hai, ucapkanlah perkataan yang baik, niscaya kamu akan beruntung. Diamlah dari perkataan buruk niscaya kamu akan selamat.”
Kemudian ada orang yang bertanya kepadanya, ”Hai Ibnu Abbas, mengapa Anda memegang lidah sambil berkata begitu?”
Ia menjawab, ”Aku mendapat keterangan bahwa kelak pada hari kiamat seseorang tidak merasa kesal terhadap sesuatu melebihi kekesalannya terhadap lidahnya.”
Yunus bin Ubaid juga berkata, ”Jika dua hal ini baik pada diri seseorang maka baik pula urusan yang lain. Dua hal itu adalah shalatnya dan lisannya.” || RB Priyosembodo, Fahma.

Rabu, 14 Oktober 2009

Fahma "On Air"

Membentuk Karakter Anak dari Rumah


Karakter positif berperan dalam keberhasilan anak di bidang akademik maupun sosial. Karakter positif juga berperan dalam kesehatan mental individu seorang anak. Anak yang memiliki karakter positif jika mengalami kegagalan akan bersikap lebih positif. Sehingga anak tidak langsung memberikan cap terhadap dirinya sendiri, akan tetapi dia akan mengevaluasi usaha yang telah dilakukannya untuk diperbaiki dikemudian hari. Oleh karena itu, anak yang memiliki karakter positif biasanya lebih optimis dan realistis. Karakter anak berkembang dari hasil interaksi dengan lingkungan. Lingkungan tempat anak berinteraksi yang pertama kali adalah keluarga, terutama orangtua atau pengganti orangtua. Orangtua merupakan faktor penting bagi anak karena kepada orangtualah anak berharap kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi. Interaksi dengan orangtua menjadikan dasar pembentukan karakter anak. Sebagai orang yang penting, maka apa yang dikatakan dan ditunjukkan orangtua pada anak dianggap sebagai sebuah informasi. Orangtua seharusnya menyadari bahwa di setiap tindakan maupun perilakunya yang ditampilkan di hadapan anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak. Apabila anak ditolak atau diabaikan, maka terbentuklah dasar rasa penolakan terhadap diri di kemudian hari. Ada tiga hal yang terintegrasi dalam pembentukan karakter. Ketiga hal tersebut antara lain adalah :
Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan yang harus diambil, dan mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik.
Kedua, mempunyai kecintaan terhadap perbuatan-perbuatan baik, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan semangat untuk berbuat kebaikan. Misalnya, anak tidak mau berbohong. Karena anak tahu berbohong itu tidak baik, maka anak tidak mau melakukanya karena mencintai perbuatan-perbuatan baik.
Ketiga adalah anak mampu melakukan perbuatan baik dan terbiasa melakukannya. Oleh karena itu pembiasaan sejak dini sangatlah penting karena akan menjadi fundamen atau dasar dalam pembentukan karakter.
Melewati proses dari ketiga hal di atas, ada beberapa pilar yang penting ditanamkan pada anak. Dimulai dari cinta kepada Allah dan alam semesta berserta isinya; tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan. Karakter-karakter baik ini haruslah dipelihara agar anak mempunyai karakter yang baik dan konsisten terhadap karakter baiknya tersebut.
Dalam pembentukan karakter, pendidikan karakter sangatlah penting dan fundamental. Bagaimana mendidik dan menanamkan karakter pada diri anak? Mendidik karakter pada anak sebaiknya orangtua perlu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk anak, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Pendidikan karakter sebaiknya dimulai saat anak masih balita, karena masa balita adalah masa-masa di mana anak mempunyai sedikit pengalaman. Sehingga segala yang dilihat dan didengar akan langsung terekam dalam otaknya tanpa pilih-pilih. Orangtua hendaknya waspada terhadap kondisi anak. Karena apabila orangtua terlambat mengisi pengalaman pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi oleh pihak lain. Keadaan yang demikian biasanya dialami oleh orangtua yang jarang berinteraksi dengan anaknya pada usia ini. Oleh karena itu sebaiknya orangtua selalu menyediakan waktu bagi anak-anaknya. Jangan sampai TV maupun hal lainnya menggantikan peran orangtua. Perbanyaklah berkomunikas dengan anak, karena komunikasi itu adalah media yang paling penting dalam berinteraksi dan prosesnya akan berlangsung seumur hidup.
Dalam berkomunikasi dengan anak, orangtua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun berkomentar hendaknya gunakan komentar yang menyenangkan.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan orangtua adalah :
Pertama, Jangan menghakimi anak dan jangan mengungkit-ungkit dan juga tidak menggunakan amarah. Sebab, marah tidak pernah menyelesaikan masalah dengan baik. Kedua, jangan membanding-bandingkan anak. Orangtua hendaknya menerima anak apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya agar kepercayaan diri anak tumbuh. Ketiga, jangan membuat keputusan untuk anak. Biarkan anak yang membuat keputusan yang didukung oleh hasil dari dialog antara orangtua dengan anak. Agar anak terbiasa mandiri dalam mengambil suatu keputusan.
Oleh karena itu biasakan membangun kedekatan dan biasakan berdialog dengan anak, agar anak terbiasa untuk meminta pertimbangan dan nasihat dari orangtua. Karena semua itu merupakan dukungan bagi anak dalam pembentukan karakternya. || Aris Suci Ati, Guru Sekolah Dasar, tinggal di Yogyakarta.

Sabtu, 04 Juli 2009

SUPLEMEN RAMADHAN



SEGALA kesempatan ini, siapa yang tidak tertarik?
Tawarkan produk Anda yang berhubungan dengan seputar
bulan Ramadhan & Lebaran ..... hanya di Suplemen Ramadhan majalah FAHMA

Jumat, 29 Mei 2009

Belajar Untuk Memberi

Ada yang kadang kita lupa. Ada keinginan kuat untuk berbenah agar hati lebih khusyuk dan iman lebih kokoh, tetapi tak tahu harus melakukan apa. Kita ingin sekali mendekat kepada Tuhan agar masuk ke dalam golongan orang – orang yang diseru oleh-Nya, tetapi kita lupa bahwa ada yang seharusnya kita lakukan untuk menyirami iman yang masih gersang itu. Kita sibuk membeli baju koko dengan bahan terbaik atau busana muslimah dengan sulaman terindah, sementara ada saudara kita yang hampir – hampir tak sanggup menegakkan kepala karena rasa lapar yang mencekam, atau karena tak sanggup mencari sekeping rupiah untuk membayar sekolah anaknya.
Kita sering mengira bahwa mengimani Allah, padahal yang terjadi adalah mendustai-Nya. Kita sering mengira sedang menempuh jalan ketenangan, padahal yang sedang kita masuki adalah lorong panjang yang mengelabui. Di antara hal-hal yang membuat kita terkelabui (ghurur) adalah apa sesungguhnya merupakan kebaikan, tetapi menjadi penyebab keburukan karena kita lalai dengan yang lain.
Membaca kalimat-kalimat thayibah untuk mengagungkan asma Allah adalah kebaikan. Tetapi ketika kita hanya berhenti pada ritual, boleh jadi yang kita lakukan justru merupakan kekeliruan. Hari ini banyak orang-orang yang mencari ketenangan dengan pergi ke majelis-majelis zikir. Mereka asyik masyuk dalam lantunan doa-doa. Mereka juga hanyut dalam tangis dan airmata. Tetapi meski sama-sama meneteskan airmata itu membebaskan manusia dari siksa api neraka, sementara sebagian lagi hanya menyaksikan pengalaman ekstase. Tidak lebih.
Di antara orang-orang menumpahkan air mata itu, bahkan banyak yang tak menemukan ketenangan. Mereka menemukan keasyikan saat bersama-sama melantunkan zikir dengan suara yang bergemuruh, tetapi mereka pulang dengan tetap membawa kegelisahannya. Salah satu sebab yang membuat rasa gelisah tak kunjung sirna adalah beratnya hati untuk memberi.
Teringatlah saya kepada nasehat Nabi. Pernah Nabi Saw, bersabda, “ Perumpamaan orang yang dermawan dengan orang yang kikir adalah dua orang yang memiliki dua baju besi mulai dari bawah sampai atasnya. Adapun orang yang dermawan, maka tidak akan menafkahkan sesuatu kecuali dengan menyempurnakan kulitnya sehingga menutupi tepinya dan menghapus tapaknya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang dermawan tidak sibuk untuk mencari dengar tentang apa yang dikerjakannya. Mereka tidak ribut dengan penyebutan, karena yang ada pada mereka adalah rasa yakin dan pengharapan besar kepada Allah. Mereka telah menemukan sesuatu yang berharga bagi jiwa. Inilah intrinsic reward –peneguh hati yang muncul dari diri sendiri- setiap kali melakukan kabajikan. Salah satu sebab yang membuat rasa gelisah tak kunjung sirna adalah bertanya hati untuk memberi.
Lalu siapakah yang perlu kita beri?
Marilah kita ingat Rasulullah saw, bersabda, “ Mulailah dari orang yang menjadi tanggung-jawabmu, dan sebaik-baik sedekah adalah sedekah yang dilakukan di luar kebutuhan.”
Salah seorang sahabat bertanya, “ Wahai Rasul, saya memiliki satu dinar, lalu kira-kira apa yang mesti saya lakukan?”
Beliau menjawab,” Saya masih punya satu dinar lagi.”
Nabi menjawab, “ Belanjakan untuk keluarga dan istrimu.”
Sahabat itu berkata, “ Saya masih punya satu dinar lagi.”
Rasul menjawab, “ Belanjakan di jalan Allah. Itulah sedekah yang paling rendah,” (HR Bukhari dan Muslim).
Mungkin tak banyak yang kita punya, tetapi ada yang perlu kita mulai. Kita perlu belajar untuk memberi, kepada keluarga sendiri atau pada kerabat yang membutuhkan. Abi ‘Abdillah at-Tirmidzi menjelaskan, sedekah merupakan pangkal akhlak. Kalau kita ingin melembutkan hati dan meneguhkan jiwa, kita mulai dengan memberi.
Di sekeliling kita banyak yang membutuhkan. Di sekeliling kita banyak yang sedang mencoba bergerak untuk melakukan kebaikan di jalan Alah. Lalu, apakah yang sudah kita berikan?